Memberanikan diri
untuk mengikuti lomba ini bukan karena tak mampu tapi karena tak punya ide untuk ditulis. Temanya berat dan
tak populer. Serasa harus berjuang untuk
mengerti apa yang ingin dituangkan. Kata dan ide serasa menggelayut dan tak bisa tertuang.
Setelah mencoba mencari inspirasi, akhirnya timbul gagasan ide dari
pertanyaan seorang teman facebooker, kebetulan juga seorang penulis bahkan
telah menerbitkan buku antalogi. Dalam timeline
dia menuliskan hanya mampu beli Compact Disc atau disebut CD bajakan. Mahalnya harga CD asli, tak sesuai dengan kantongnya atau disebutkan
tak sebanding lurus dengan pendapatannya.
Walaupun dia mengetahui bahwa akhirnya dia harus buang CD bajakan itu
karena ketika dipasang kualitasnya sangat tak sesuai dengan harapannya. Film dalam CD terpotong-potong dan tak jelas warna dan
gambarnya. Serba tak menyenangkan untuk
dilihat.
CD adalah sebuah hasil
karya seni, baik itu film atau lagu, pengetahuan Karya seni yang dihasilkan oleh seorang
seniman. Harga dari karya menjadi murah karena tak dihargai oleh konsumen maupun produsen yang mau mencari untung cepat mencari untung.
Bahkan untuk memuaskan konsumsi rakyat yang ingin membeli murah maka
dengan mudah para pedagang yang tak mengetahui hak cipta dengan mudahnya membuat
jiplakan atau bajakan. Jika identitas karya
seni yang seharusnya dihargai tak lagi
menjadi suatu identitas maka kita akan kehilangan identitas sebagai bangsa yang besar. Kenapa?
Karena di dunia global atau di luar negeri semua hasil karya seni
dibanggakan dan dihargai oleh bangsanya sendiri. Mereka mempatenkan semua hasil seni ke dalam
hak paten yang tak boleh sembarang pihak menjiplak.
Ada sanksi dan ada hukumannya atas penjiplakan atau plagiat.
Ketika anak bangsa ini
tak lagi bisa menghargai karya seni maka yang terjadi adalah para seniman
pencipta karya seni tak mempunyai penghasilan yang memadai, bahkan akhirnya
terjadi penciptanya akan hilang dari peredaran tanpa mendapatkan hasil. Identitas bangsa akan hilang digantikan oleh
identitas asing karena dengan adanya era
global barang siapa yang menghargai karya seninya merekalah yang
memenangkan pasar global.
Kaitannya dengan
PANCASILA, di dalam sila ke 5
disebutkan keadilan sosial bagi setiap warga negara. Tertuang makna bahwa keadilan sosial itu
menghargai hak milik orang lain , tidak merugikan kepentingan orang lain dan
menghargai karya orang lain.
Sebagai seorang ibu,
harapan saya agar penguatan identitas
para seniman ini dapat terus exist ditengah gempuran dari globalisme
yang makin gencar, semua anak bangsa
dapat menghargai dan menggunakan karya seni yang asli dan tidak mencoba
menjiplak atau membuat plagiat karya lain dan menjualnya. Juga bagi konsumen diharapkan
menghargai kerja seni yang merupakan identitas seniman dengan membeli yang asli walaupun mahal harganya. Mungkin mencari cara bagaimana membeli harga
mahal dengan sharing dengan teman-temannya atau dengan mencari dana sebelum
membeli.
Kembali kepada
definisi jati diri. Jati diri itu
merupakan identitas bangsa. Misalnya
anak saya yang bersekolah dalam bidang “Digital Design”. Mendapat tugas untuk membuat profil
pribadinya dalam sebuah web . Begitu
membuka webnya, kita dapat mengetahui
profil nya secara jelas seperti siapa
namanya, bidang sekolahnya, portofolio
dan dari mana hasil seninya dia dapatkan.
Demikian juga dengan
negara, harus mempunyai jati diri atau kepribadian atau identitas suatu bangsa.
Keberadaan identitas nasional dalam
arus globalisasi dan multikultural harus dijaga ketat dan dipertahankan karena
tanpa adanya penguatan maka identitas
bangsa akan hancur dan bangsa itu akan tak dikenal lagi sebagai bangsa di mata
dunia luar.
Fenomena yang terjadi
ketika arus deras globalisasi dalam ekonomi yang melanda Indonesia.
Banyak restoran menyajikan makanan dengan menu budaya barat. Bahkan sampai minuman pun harus mengimport
budaya barat. Restoran yang dibuka dengan menu makanan atau minuman dengan sistem usaha franchise itu disebut waralaba asing. Menurut statistik dari Data assosiasi Franchise Indonesia pada tahun 2010, jumlah waralaba Indonesia termasuk asing 1500. Jumlah lokal 60% , jumlah asing 40%. Namun dari segi omzet waralaba lokal jauh tertinggal yaitu hanya 30% dari 120 triliun atau sekitar 40 triliun. Mengapa waralaba lokal jauh tertinggal, karena sistem manajemen yang belum dikuasai penuh dan modal yang tidak sebanding dengan waralaba asing. Jika hal ini dibiarkan berlarut maka waralaba lokal makin terpinggirkan. Hal ini bukan sekedar masalah waralaba melawan waralaba atau yang disebut prinsip resiprokal, tetapi mencakup berbagai aspek terkait lebih luas , perlindungan usaha rakyat, identitas nasional.
Kesedihan saya rasakan
ketika beberapa kebudayaan yang menjadi jati diri atau identitas ikut tergilas
dengan makin banyaknya kebudayaan yang masuk melalui media online , jejaring
sosial karena globalisasi. Kebudayaan
seperti tarian daerah, pariwisata daerah tak mampu bersaing dengan tarian asing
cepat sekali diterima oleh masyarakat, terlebih anak muda. Nilai kebudayaan asli itu merupakan nilai
budaya yang sangat penting. Jika tak dipertahankan, akan terbuang dan akhirnya
negeri kita tak dipandang. Bahkan ada
negara lain yang dengan mudah mencaplok atau mengatas namakan budaya kita sebagai
miliknya.
Apakah kita lupa
dengan arti dari sila ke 5 dari Pancasila?
Maknanya yang tertuang sungguh
jelas menghargai dan menghormati orang lain tapi bukan berarti melupakan dan
tak menghargai milik bangsa sendiri.
Sebaiknya identitas nasional
dalam bidang ekonomi, budaya, pendidikan ditegakkan dan diperkuat dengan
strategi yang jelas dan terarah:
1.
Membuat
masakan atau menu dari hasil bangsa sendiri.
2.
Menumbuhkan rasa
cinta dan bangga atas kreatifitas bangsa sendiri
3.
Menghargai
perjuangan masakan bangsa sendiri dan menolak segala yang asing
4.
Mengadopsi tapi tetap mempertahankan nilai luhur dari
bangsa sendiri
Sebelum kita kehilangan identitas lebih baik kita
berbenah diri dengan memperkuat identitas dalam era globalisasi ini supaya kita
menjadi bangsa yang kuat dan bangsa yang besar.
Seperti dikatakan oleh Bung Karno: .."Bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghargai pahlawannya sendiri".
Mbak Ina, tulisan True Storynya dikirim via email ya :)
BalasHapus